Stereotipe Keliru Yang Terlanjur Berkembang Dimasyarakat dan Dianggap Benar

Menurut Wikipedia, Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Beberapa pihak menyatakan bahwa stereotipe berdampak negatif dan positif karena hanya berdasarkan "penilaian", anggapan, dan persepsi. Namun, stereotipe memiliki kecendrungan negatif.

Lantas, apa sajakah bentuk stereotipe yang terlanjur mendoktrin kalangan masyarakat luas bahwa "anggapan" tersebut benar? Berikut saya coba merangkumnya. Akan tetapi, karena stereotipe adalah persepsi, hal ini juga merupakan "persepsi" pula dari saya.

1. Cantik Itu Putih
Iklan yang dilakukan secara masif, terstruktur serta sistematis, dan berulang-ulang, telah membawa persepsi bahwa cantik itu adalah putih. Putih yang dimaksud adalah mempunyai kulit putih. Ditambah sedikit kata "nakal" mulus, tampaknya kita telah sengaja dibelokkan ke sebuah paradigma yang keliru.

Mengapa harus kata putih yang dijadikan representatif sebuah kecantikan? Berani melakukan iklan sejenis di negara Senegal atau Afrika, misalnya? Lalu, apa yang mendasari pemikiran cantik itu mesti putih? Lagi-lagi iklan berperan sangat besar dalam merubah pola pikir. Silakan diliat beberapa iklan yang dengan tersirat maupun tersurat yang kerap melakukan jargon, bahwa cantik = putih.

Bagaimana menurut agan dan sista semua? Bukankah stereotipe ini cukup menyakitkan beberapa saudara-saudara kita yang secara genetik tidak berkulit putih?

2. Cantik Itu Tinggi
Sama halnya dengan kulit putih, tinggi dan pendeknya seseorang banyak dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan. Meski melakukan olahraga tertentu yang konon "katanya" bisa menambah tinggi seseorang, namun jikapun itu terjadi, pengaruhnya tidak terlalu signifikan.
Kita pasti sering melihat iklan yang dengan sadis ditempelkan pada pohon dengan menggunakan paku atau menempel di tiang listrik yang mengurangi estetika sebuah kota. Jika saja iklan tersebut mujarab, entah berapa orang yang antri berjibaku demi mendapatkan treatment peninggi badan. Bisa saja panjangnya antrian melebihi antri sembako menjelang pemilu.

Lalu, benarkah kecantikan berkaitan dengan tinggi badan seseorang? Persepsi macam apa pula yang coba dipaksa diinjeksi ke dalam benak kita lalu membenarkan bahwa jika ingin cantik mesti tinggi?

Boleh jadi, sebuah instansi menerapkan aturan tinggi badan dengan ukuran tertentu agar bisa mengikuti seleksi yang mereka adakan. Tapi, apa yang terjadi? Jika kebetulan ada seorang anak berbakat lalu faktor tingginya hanya kurang sekian centi dan pastinya tidak masuk dalam kualifikasi? Minder. Lagi-lagi, tanpa disengaja kita mempatenkan bahwa cantik, pintar dan berpotensi meski tinggi. Sakitnya tuh disini lho...

3. Cantik Itu Langsing
Tidak jauh berbeda dengan poin 1 dan 2, anggapan bahwa cantik itu mesti langsing juga menyesatkan. Coba cek kejadian yang pernah terjadi, bahwa, demi mendapatkan bentuk tubuh ideal, beberapa orang harus terkena anoreksia. Bahkan, karena sudah ter- mindset cantik itu langsing, tak jarang justru tubuhnya jadi kurus kering tinggal kulit sama kentut. Hal ini diperparah dengan mitos bahwa berat badan ideal adalah = tinggi badan-110. Whatttt....?

Seperti penjelasan dan definisi dari stereotipe, tampaknya dari ketiga poin ini, "penilaian" yang dimaksud bermakna negatif. Anehnya, banyak pula yang meng-amini dan berpikiran apa yang telah sedemikian dijejali kedalam otak, merupakan sebuah kebenaran. Bisa dijelaskan korelasi antara cantik dengan langsing? Benarkah cantik = langsing? Jika "mereka" penggemar atau panitia para model, bisa jadi anggapan itu memang benar. Dan sebuah keharusan jika ingin menjadi model meski langsing.

4. Bahagia = Harta Berlimpah
Materi hanya salah satu faktor yang bisa membuat kebahagiaan. Tapi ingat, "hanya" salah satu faktor diantara banyaknya faktor lain. Jaman sekarang, dimana kekayaan sebagai simbol dan status sosial dimasyarakat, cukup jitu dan sukses membuat banyak orang menghamba pada materi ini. Seribu jalan ditempuh demi mengumpulkan pundi-pundi materi yang dipercaya sebagai hal pembuat bahagia. Ada yang melalukannya dengan jalan yang halal, namun tak sedikit pula yang menghalalkan segala cara. Termasuk berbuat korupsi, bagi mereka yang memiliki jabatan.

Selain itu, bukan rahasia umum juga masyarakat yang menggunakan jasa mahluk astral seperti tuyul, babi ngepet dan jin demi memuaskan dahaga akan kekayaan.

Namun, benarkah bahagia ditentukan dengan banyaknya materi yang menggunung? Bahkan harta yang dimiliki tidak akan habis meski dinikmati oleh keluarganya secara tujuh turunan?

Memiliki harta banyak, sepintas melenakan. Kita bisa melakukan dan membeli apa saja yang kita butuhkan, maupun yang kita inginkan. Bagi orang kaya yang dermawan, sikap kikir dan pelit bukan pilihan demi menyelamatkan setumpukam materi yang mereka punya. Tetapi, tidak jarang orang kaya yang justru melegalkan sifat pelit bin kikir karena takut hartanya terkikis.
Benarkah kebahagiaan ditentukan oleh harta berlimpah?

Kebahagiaan sejatinya terletak pada hati, yang senantiasa bersyukur atas nikmat harta yang dititipkan dariNya. Tentu saja, selain bersyukur, usaha harus tetap dijalankan. Karena Tuhan tidak pernah menjatuhkan uang dari langit secara langsung. Butuh usaha diserti doa demi mengais rezeki yang sudah ditentukan "kadar"nya pada masing-masing individu. Silakan memperkaya diri sendiri, namun dengan cara-cara yang halal agar harta yang terkumpul menjadi berkah, dan bukan malah menjadi bencana.

Bukan karena bahagia kita bersyukur, namun dengan bersyukur, bahagia akan datang menghampiri hari-hari kita.

5. Belum Dianggap Makan Jika Belum Makan Nasi
Hehehe, asupan karbohidrat bukan cuma ditemukan pada nasi. Beberapa jenis makanan mengandung cukup karbohidrat yang berguna untuk asupan tubuh. Tapi, pada kenyataannya, dikalangan masyarakat, belum dianggap makan jika belum makan nasi.

Benarkah demikian? Iya emang benar. Padahal, seperti yang diulas diatas, alternatif makanan yang mengandung karbohidrat bisa ditemukan dari sumber yang lain.
Belum makan nasi, artinya belum makan.

6. Kerja Itu Harus Berangkat Pagi, Pulang Sore dan Punya Kantor
Kemajuan jaman sekarang ini memberikan peluang dan kemudahan bagi orang yang ingin mendapatkan penghasilan meski tanpa melangkahkan kaki keluar rumah.

Seorang teman, sebut saja namanya "Okka", sukses berbisnis via online. Malah terkadang penghasilan yang didapatkan bisa melebihi para pekerja kantoran. Tapi, bagaimana persepsi yang terlanjur diyakini oleh masyarakat?
"Kerja itu ya harus berangkat pagi dan punya kantor. Kalau dirumah aja, emang ngapain?". Meski terdengar konyol, kadang pertanyaan seperti itu bikin miris bagi yang mendengarnya. Namun tidak usah diambil hati, apalagi harus bertindak emosi lalu melayangkan somasi. Hadapi saja dengan senyuman.

7. Orang Berkacamata = Pintar
Wah, stereotipe ini sudah lama melekat pada orang-orang berkacamata. Meski saat ini, penggunaan kacamata cenderung buat gaya-gayaan, namun stigma berkaca mata adalah pintar sering kontraversi. Kebetulan, ane pakai kacamata. Pintar juga....emoticon-Ngakak

Namun, kebanyakan orang berkacamata (genetik juga bisa), "biasanya" gemar membaca, kecendrungan introvert (ga semuanya), dan ya itu, punya fans tersendiri bagi penggemar pria atau wanita berkacamata....

Pada dasarnya semua orang terlahir pintar. Yang membedakan adalah "kemauan". Banyak orang merasa pintar, namun enggan untuk belajar.

Masih ada lagi stereotipe "sesat" yang keliru namun terlanjur berkembang dimasyarakat, bahkan dianggap benar? Silakan kita nimbrung ya? Kali aja bisa menambah khasanah kita.


0 Response to "Stereotipe Keliru Yang Terlanjur Berkembang Dimasyarakat dan Dianggap Benar"